Selasa, 21 November 2017

Tali Sepatu

Sebelum anak bungsu saya memulai hari pertamanya sekolah, saya sudah lebih dulu mengajarkannya membuat simpul yang benar di sepatunya. Sebenarnya saat ia hendak membeli sepatu sekolah, ia mengusulkan untuk membeli sepatu tanpa tali. Tentu saja saya menolaknya, bukan karena ingin menyusahkannya. Saya katakan padanya, bisa saja saya membelikan ia sepatu sekolah tanpa tali, tetapi nanti kamu akan kehilangan kesempatan untuk belajar. Kamu akan bisa memperhatikan hal besar, apabila kamu terbiasa berlatih memperhatikan hal-hal kecil.


Sampai saat ini, sudah tiga bulan lamanya ia belajar membuat simpul yang benar di tali sepatunya. Belum juga dia bisa dengan rapih mengerjakannya. Kadang terlalu longgar, terlalu kuat, sampai terlepas lagi, kadang juga masih salah menyimpul. Setiap kali mengantar atau menjemputnya sekolah, saya akan selalu memintanya merapikan simpul tali sepatunya apabila terlepas.

Benar-benar emak rempong ya, hehehehe. Kalau dipikir-pikir, urusan tali sepatu kan hanya masalah kecil, ganti saja dengan yang pakai perekat, atau bantu saja terus. Masih banyak urusan "besar" lain seperti kemampuannya membaca, menulis, berhitung, dan kemampuan intelegensi lainnya.

Tali sepatu memang hal kecil, namun bagi saya hal ini salah satu alat kami mendidik kepribadian anak kami. Ah lebay! Hehehe....yaaa ini kan pendapat pribadi. Saat seorang anak selalu diingatkan tentang tali sepatunya, ia akan belajar tertib, disiplin. Ia juga belajar bersabar, dan strategi. Mungkin akan lama, seperti anak saya sampai 3 bulan. Memang, belajar itu harus lama, insyaa allah hasilnya akan kita petik di kemudian hari.

Saya suka memberikan tantangan-tantangan kepada anak-anak saya, sesuai tahap perkembangan mereka. Si nomer dua saya siapkan beberapa bahan makanan di kulkas, agar ia bisa mencari ide memasak. Anak pertama, pulang dari pondoknya saat liburan, langsung tidak sabar ingin merapikan kamar. Tantangan-tantangan sejak mereka kecil mulai menunjukkan hasilnya walau sedikit.

Saya selalu memegang pendapat, bahwa dalam belajar diperlukan pengorbanan, air mata, letih, dan hal-hal yang mungkin membuat tidak nyaman. Tetapi tentu harus imbang dengan apresiasi yang diberi. Misalnya dengan memberinya kesempatan menekuni hobi, bermain, atau mendapat hadiah.

Menurut pakar neurosains, Dokter Amir Zuhdi, masa sebelum 7 tahun adalah masa dibangunnya ketangguhan anak. Di masa-masa ini seorang anak sebaiknya terlatih secara motorik dan sensorik. Sehingga di saat otak rasionalnya mulai siap berfungsi, ia pun telah memiliki mental yang tangguh. Belajar itu perlu waktu yang lama, sedikiti demi sedikit, terus-menerus, dan sabar.


Diambil dari status Facebook
26 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar