Sabtu, 28 November 2015

Belajar Berhitung atau Belajar Menjawab Soal?

MATEMATIKA, bagi anak sulung saya adalah materi paling akhir yang mau ia pelajari. Sejak memutuskan menggunakan metode belajar terstruktur,  ia tak mempermasalahkan pelajaran IPS, IPA, PKn, Bahasa Indonesia, serta materi-materi diniyyah. Namun untuk matematika, ia baru memulainya di usia memasuki 10 tahun. Saya cukup ketar-ketir dibuatnya. Di usia itu, ia baru mulai lagi mempelajari perkalian, pembagian, pengukuran, dan seterusnya. Alasannya, ia merasa, mempelajari angka-angka tidaklah asyik, berbeda saat ia membaca cerita dalam buku lain.
Beberapa bando produksi Si Sulung




Sebenarnya di usia anak sulung saya 6 tahun, kami sudah pernah mulai bermain-main dengan angka. Lewat papan peraga yang saya buat, saya berusaha memperkenalkan konsep-konsep dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian. Sampai tahap latihan, ia mulai bosan. Ketika usia 7/8 tahun saya coba lagi berlatih menyelesaikan soal-soal hitungan, ia seringkali tiba-tiba kehilangan semangat belajar. Tetap, baginya melihat angka tidaklah asyik. Akhirnya latihan menyelesaikan soal matematika dan pelajaran matematika saya hentikan sampai ia memasuki 10 tahun.

Suatu hari saya menemukan buku Jenius Matematika di deretan buku-buku Si Sulung. Subhaanallooh, saya bahkan lupa pernah membeli buku tersebut. Buku tersebut termasuk buku kesayangannya, karena berisi kisah tentang keluarga kucing. Dikisahkan di buku tersebut, keluarga kucing memiliki toko ikan (sampai sini dia bercerita sambil terpingkal-pingkal, membayangkan semua dagangannya dimakan sendiri) dan di hari tertentu mereka harus berbelanja ke nelayan, sedangkan nelayan pencari udang dan ikan datang tidak bersamaan, tetapi dalam intensitas yang rutin. Maka keluarga kucing harus menemukan cara yang tepat untuk mengetahui nelayan udang dan ikan datang bersaman di hari yang sama. Lalu, dikenalkanlah konsep kelipatan.

Saya tau sekarang, rupanya Si Sulung lebih senang model bercerita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan matematika (pada dasarnya dia memang sangat senang cerita). Akhirnya, saya mulai menekankan kepada pemecahan masalah untuk mempelajari matematika. Memasuiki usia 10 tahun, saya menawarkan kembali belajar matematika, dengan model penyelesaian kasus seperti pada seri buku Jenius Matematika tersebut.

Karena konsep tambah dan kurang telah dia pahami, saya memulainya dari materi perkalian, konsep perkalian, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkalian. Harus ekstra tenaga, karena saya harus memikirkan soal-soal pemecahan masalah yang cukup menarik dan menanntang, seringkali saya menggunakan tokoh-tokoh kucing stray kami, atau anak-anak yang lain. Belajarnya pun bisa sambil membuat sesuatu. Misalnya, seperti yang pernah kami lakukan, sambil mengolah lempung, lalu membuat kue dari pizza, kue tersebut harus dibagi-bagi, dan seterusnya.

Saat mulai memasuki materi pengukuran, saya memulainya dengan membelikan meteran jahit. Kami saling mengukur. Kakak mengukur tinggi adik, adik mengukur lingkar perut kakak, mengukur tinggi meja, panjang sandal, bahkan 'mancung'nya hidung. Suasana meriah, seru, bahkan kadang-adang mereka melakukannya sambil teriak kesenangan. Siapa lebih mancung, siapa yang perutnya lebih gendut (ibu atau ayah), dan seterusnya. Saat pengukuran memasuki perbedaan satuan, saya membuat garis sepanjang 1 mm, 1cm, 1dm, 1m, dan seterusnya. Garis tersebut saya gambar di atas kertas yang ditempelkan di dinding (padahal rumah kami rumah dinas negara, tetapi bisa dibersihkan, kok).

Memasuki materi pengukuran luas dan keliling pun demikian, selalu dengan contoh pemecahan masalah. Mulai yang konvensional seperti memasang pagar, sampai masalah-masalah yang dia karang sendiri seperti memasang wallpaper, dan sebagainya. Demikian pula saat belajar faktor dan kelipatan, selalu ia mencoba mencari masalah yang bisa diselesaikan dengan konsep faktor dan kelipatan. Saat belajar waktu, sudut, pun demikian, ia selalu mencari contoh masalah yang ada di kehidupan sehari-hari yang bisa diseslesaikan dengan konsep-konsep yang dipelajarinya. Seperti misalnya mengukur sudut hidung adik-adiknya (hehehe).


Tetapi, matematika adalah soal pemahaman dan latihan. Selain memahami konsep dasar, latihan juga harus dilakukan. Semakin bertambah usianya, ia semakin sadar bahwa dalam belajar matematika harus banyak berlatih. Saat ini, alhamdulillah, dia sudah tidak lagi alergi melihat angka, dan sudah menyadari pentingnya latihan dalam matematika. Apalagi sejak mulai belajar berdagang, ia semakin merasa perlu memiliki kemampuan berhitung dengan cepat, agar menjadi penjual yang handal, yang akurat perhitungannya agar tidak rugi.


4 komentar:

  1. bagus sekali idenya.. salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mba. Salam kenal kembali :)

      Hapus
  2. Hooo ... Kynya bakal coba metode ini dlm 1-2 thn lg ... anaknya ga alergi angka siy tp memang suka bercerita hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaa, selamat menikmati celotehannya ya Tii....eh, dikau di multiply ya?

      Hapus