Kamis, 03 Desember 2015

Kisah Ibunda Para Ulama bagian I: Kisah Ibunda Rabi'ah Ar Ra'yi

Kehidupan pernikahan menghadapi takdir yang berbeda-beda. Masih membicarakan hubungan pernikahan jarak jauh (LDM). Alih-alih saling menyindir, atau saling tersindir, ada baiknya kita saling empati dan saling menguatkan. Ternyata kisah hubungan pernikahan jarak jauh bukan hanya terjadi di zaman sekarang. Banyak faedah yang bisa kita dapatkan dengan mengetahui hubungan pernikahan jarak jauh yang dialami ibunda para ulama jaman dulu.



Tahukah Anda Imam Malik? Guru dari seorang ulama besar, Imam Asy Syafi'i ?Ternyata guru Imam Malik pun seorang Ulama Besar, anak seorang mujahid. Dialah Rabi'ah Bin Abi Abdirrahman Ar Ra'yi. Ar Ra' yi adalah julukan kepada beliau karena kecerdassannya.

Farrukh, sang ayah, meninggalkan bekal sebanyak 30 ribu dinar kepada ibundanya, dan meninggalkan calon anak dan isterinya itu untuk memenuhi seruan jihad fi sabilillah.

Setelah lahir, sang ibunda mengasuh dan mendidiknya tanpa suami di sampingnya. Dengan kasih sayangnya, ia membiayai Rabi'ah sehingga bisa membaca dan menulis, lalu menghafalkan AlQuran 30 juz serta hadits-hadits.Setiap kali sang ibunda melihat kemajuan dalam diri anaknya, ia akan memberikan hadiah kepada guru Rabi'ah.

Kecerdasannya menjadi pembicaraan banyak orang. Dalam usia yang masih muda banyak orang yang ingin menjadi muridnya. Begitulah kesehariannya, belajar dan mengajar. Sedangkan kabar ayahnya ia tak pernah mendengarnya lagi. Ada yang mengatakan sang ayah telah wafat sebagai mujahid, tetapi semua kabar tersebut tidak jelas kebenarannya.

Setelah sekitar 30 tahun pergi berjihad, pulanglah Farrukh ke Madinah, tempat isteri dan anaknya ia tinggalkan. Pejuang berusia 60 th an ini segera mencari rumahnya.Didapatinya pintu rumahnya terbuka. Ia masuk ke rumah tersebut. Sontak sang penghuni rumah kaget melihat kedatangan tamu asing bersandang pedang di pundaknya. “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?!”Perkelahian dua laki-lai tersebut pun tak terelakkan.

Perkelahian tersebut mengundang para tetangga menyaksikan duel tersebut. Para tetangga berusaha membela Rabi'ah. Orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.” Dia menoleh kepada orang-orang sembari berkata, “Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahu lalu pergi berjihad fi sabilillah?”

Mendengar keributan tersebut, Ibunda Rabi'ah pun turun melerai keduanya. “Lepaskan… lepaskan dia, Rabi'ah… lepaskan dia, putraku, dia adalah ayahmu… dia ayahmu… saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian, tenanglah, Abu Abdirrahman, dia putramu… dia putramu.. jantung hatimu…” Farrukh pun menciumi putranya, demikian pula Rabi'ah, ia mencium tangan ayahnya. Para tetangga pun bubar.

Ibunda Rabi'ah sangat bahagia, namun di tengah rasa bagaianya itu, ia menyembunyikan rasa khawatir. Uang 30ribu dinar peninggalan sang suami telah habis, ia tidak tau cara menjelaskan pemakaian uang etrsebut kepada sang suami. Suatu waktu, Farrukh pun akhirnya menanyakan keberadaan uang 30 ribu dinar tersebut kepada isterinya. Ia berencana membeli sesuatu dengan uang tersebut, ditambah uang yang ia bawa dari medan perang. "Aku letakkan uang tersebut pada tempat yang semestinya, dan akan kuambil beberapa hari lagi, insyaa Alloh", jawab ibunda Rabi'ah singkat. Pembicaraan terputus karena azan berkumandang. Rabi'ah telah lebih dulu berangkat ke Masjid Nabawi.

Farrukh pun melaksankan sholat di masjid. Usai sholat, ia berziarah ke makam nabi. Ketika hendak pulang, ia melihat orang-orang berkumpul di Masjid Nabawi. Rupanya mereka tengah mendengarkan pemaparan ilmu dari seorang ustad muda. diantara jama'ah, hadir pula  Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan lain-lain.

Farrukh terpukau mendengar penjelasan ustad muda tersebut, demikian cerdas dan tinggi ilmunya. Karena banyaknya jama'ah yang hadir, ia tidak bisa melihat wajah sang ustad. Maka bertanyalah ia kepada salah seorang diantara yang hadir, sipakah ustad tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan tentang sifat-sifat ustad tersebut, air matanya meleleh tatkala disebutkan nama ustad muda yang cerdas itu: Ia adalah Rabi'ah Ar Ra'yi. Farrukh bertanya siapa nasab ustad muda tersebut, ternyata memang ia adalah putranya yang selama ini ia tinggalkan berjihad ke medan perang.

Ia bergegas pulang. Sang isteri pun heran melihat perilaku Farrukh. “Ada apa wahai Abu Abdirrahman?” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa, aku melihat putraku berada dalam kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain.” Sang isteri melanjutkan, “Menurut Anda manakah yang lebih Anda sukai, uang 30 ribu  dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?” Farrukh berkata, “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”

Komentar Imam Adz Dzahabi ttg kisah Rabi'ah

Seadainya cerita itu benar, maka sebenarnya seribu dinar saja cukup untuk menutup kebutuhan selama 27tahun, bahkan separuhnya pun cukup. Jadi cerita ini sungguh berlebihan... Apalagi ketika Rabi'ah berumur 2
7 tahun ia masih terlalu muda dan belum punya halaqah, bahkan tokoh-tokoh ternama ketika itu ialah orang-orang seperti sa'id ibnu Musayyab, 'Urwah bin Zubeir, dan guru-guru Rabi'ah lainnya. Imam Malik juga belum lahir ketika itu, atau kalaupun sudah maka masih balita!

Mengenai thawielah, maka yang pertama kali memasangnya ialah kalifah al Manshur, setelah wafatnya Rabi'ah. Adapaun Al Hasan bin zaid, ia baru dewasa dan terkenal beberapa waktu kemudian; ditambah lagi bahwa sanad kisah ini munqathi (terputus).
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kalau sebahagian dari kisah ini memang pernah terjadi.
(Siyar A'laamin Nubalaa', II/1686.


Faidah dari buku:
Mereka adalah Para Tabi'in, Pustaka At Tibyan, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan
 "Masa Kecil Para Ulama', Ustadz Abu Umar Abdillah, penerbit Wafa Kids

Tidak ada komentar:

Posting Komentar