Senin, 05 Maret 2012

Telat Tiga Bulan, Nih

Selama beberapa waktu, ritme kehidupan kami sedikit berubah. Sesi pagi yang biasanya diisi dengan bercerita, prakarya, dan sebagainya, nyaris tak kami jalani. Salah satu alasannya adalah karena saya sedang sibuk dengan 'mainan' baru saya, berjualan dengan sistem 'online'.



Konsekuensinya luar biasa, saya jadi teramat sibuk memeriksa akun saya, khawatir kalau ada yang memesan dagangan saya. Akibatnya, kesibukan rumah sesi pagi hanya diisi dengan membaca buku secara mandiri oleh anak-anak disertai dengan mengerjakan beberapa kertas kerja. Saat itu yang saya rasakan adalah ingin secepatnya menyelesaikan tugas rumah tangga dan segera mendapatkan waktu pribadi saya. Anak-anak jadi sepi kegiatan, mereka mencari kesibukan, kadang saya hanya menanggapi sepintas lalu saja. Anak-anak ternyata merasakan ini, berkurangnya emosi saya terhadap mereka, semuanya berjalan seperti formalitas saja, tak ada keterlibatan emosi, berkurangnya spontanitas dari saya yang justru menjadi hal yang sangat mereka sukai.

Biasanya, saya mengajak mereka berbicara, memancing pendapat dan sebagainya . Hilangnya kesempatan tersebut menjadikan anak-anak saya melampiaskan perasaan mereka kepada hal lain. Sang kakak protes secara tak langsung tentang kesibukan saya, dia jadi suka bingung dan mengatakan ga ada kerjaan. Si adik menghabiskan waktunya dengan berkelana ke sana-ke mari seperti tak tahu hal yang akan dilakukannya. Saya pun menyadari hal ini dengan segera. Saya mulai menyusun jadwal pribadi dan tetap mengutamakan kegiatakan homeschooling kami. Saya mulai bersama-sama mereka bercanda di atas kasur menjelang tidur siang, mulai membuat camilan bersama, dan sebagainya.

Apa yang tak ada saat saya fokus kepada hal lain selain anak-anak, sehingga mereka bersikap 'protes'? Setelah saya renungkan sesuatu yang hilang itu, saya menduga yang hilang adalah apresiasi dan kepercayaan diri. Saat anak-anak berhasil membuat sebuah karya, biasanya saya memperhatikannya dan meyebutkan kelebihan serta kekurangan karya itu. Saat anak ke dua menunjukkan bahwa dia sudah bisa menggambar, saya beri apresiasi yang proporsional. Tetapi di saat saya sibuk sendiri, saya tak ikut serta terlibat dalam proyek-proyek mereka. Mereka pun jadi kurang antusias.

Dalam ilmu komunikasi, apresisasi menimbulkan penghargaan diri(self-convidence) yang pada akhirnya membuatnya dapat mengkomunikasikan perasaannya (self-esteem) dengan cara dan waktu yang tepat. Penghargaan terhadap diri sendiri ini menjadikannya merasa cukup untuk melakukan sesuatu dengan senang karena mendapatkan dukungan dari orang yang ia percayainya (bagi anak, orang tuanya) sehingga apa yang dikatakan orang lain bukanlah hal penting yang harus ia risaukan. Baginya, cukuplah orang tua yang menjadi pendengar setia, tempat curahan hatinya, dan tempat ia meminta persetujuan.

Apa akibatnya? Secara teori, saat seorang anak memiliki penghargaan yang baik terhadap dirinya, ia memandang dirinya secara positif. Ia menilai dirinya mampu, berharga, berani, serta hal-hal positif lainnya. Kepercayaan diri inilah modalnya melakukan hal-hal yang menjadi minatnya. Ia tak mudah menyerah dan cemas menghadapi kehidupan, sehingga tangguh menjalani ujian kehidupannya. Yang tak kalah penting, saat merasa dihargai, ia tak sungkan mengungkapkan perasaannya, sehingga ia tak perlu mencari tempat lain untuk mengungkapkan perasaannya.

Beberapa kali saya menemukan teman-teman lama saya yang aktif di jejaaring sosial mengadukan permasalahan pribadi mereka di akun pribadinya. Padahal yang saya tahu, dia sebenarnya adalah seorang yang pendiam dan cenderung tertutup. Tetapi kenapa di jejaring sosial seseorang yang pendiam bisa terlihat jauh berbeda? dalam arti bisa sangat terbuka sekali? Salah satu alasannya mungkin karena ia sulit mengkomunikasikan perasaannya, mungkin ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya, sehingga larilah ia ke jejaring sosial, yang di hadapannya adalah sebuah benda mati. Padahal kenyataannya, justru lebih banyak orang mengetahui permasalahannya.

Bila anak-anak kita sejak kecil tak tahu cara mengkomunikasikan perasaannya, bukan tidak mungkin ia mencari pelarian. Ada yang menjadikan komunitas hobby sebagai tempat curhatnya, ada juga yang lari ke perkumpulan tertentu, ada pula yang aktif curhat di jejaring sosial. Maka, saat saluran komunikasi ke orang tua terhambat, bukan tak mungkin juga suatu kali ada seorang remaja yang menulis di statusnya: Telat Tiga Bulan Nih. Na'udzubillahi min dzaalik.

2 komentar:

  1. betul, Kak.. anak tdk hanya membutuhkan kehadiran ibu (orang tua) secara fisik, tp lebih dari itu, keterlibatan emosi lbh penting.. sy jg mengalami hal yg sama, Kak.. ketika sy mo nyoba bisnis ol, ternyata banyak pekerjaan RT yg terbengkalai, anak jg jd kurang terperhatikan, akhirnya kesel sendiri..
    makasih ya, kak masukan n sharing pengalamannya.. ditunggu postingan slanjutnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita sama-sama belajar yaaa...saya juga ngalamin tuh anak2 pada ga keurus karena saya sibuk jualan, hehehe.

      Hapus