Jumat, 09 Maret 2012

Ayah, Terus Bermainlah!

Salah satu kunci sukses menjalankan Home Education/Home Schooling adalah kesamaan visi antara ayah dengan ibu, serta kerja sama yang baik di antara keduanya. Dengan kata lain, orang tua harus mampu bersinergi demi melancarkan proyek luar biasa tersebut. Bila hanya ibu yang bermimpi tinggi, sementara sang ayah tidak setuju dengan ide/gagasan HE/HS, sang ibu tampaknya membutuhkan usaha keras untuk mewujudkan impian tersebut.


Secara umum, dalam hal pengasuhan ibu lebih memiliki jiwa/bakat/naluri mendidik dibandingkan ayah. Hal ini mungkin bisa berbeda di antara beberapa keluarga, tergantung bagaimana sang ayah dulu dididik pula oleh orang tuanya. Suatu kali, saat saya sakit, ayah lah yang mengurus anak-anak, mengawasi kegiatan mandi mereka, memandikan dan memilihkan baju si kecil, serta mengambilkan makan. Semuanya bisa dilakukan, saya sampai terharu. Tetapi, nampaknya ayah belum bisa membedakan baju untuk di rumah dengan baju untuk pergi (he he he...) yang saya sangat memahami hal ini.

Itu baru contoh soal memilihkan pakaian. Beberapa kali ayah juga harus di 'dikte'. Saat anak-anak bangga menunjukkan hasil karya mereka, ayah  menjawabnya dengan kata-kata 'waahhh, bagus yaa...anak-anak ayah sudah pintar'. Saat kata-kata tersebut dilontarkan lagi di kesempatan ke dua, ke tiga, dan seterusnya...anak-anak mulai 'membaca' bahasa nonverbal ayah mereka. Saya lalu mengajak ayah berdiskusi, bahwa memuji pun ada tips nya. Lihatlah dulu benda apa yang ditunjukkan anak-anak, perhatikan dengan seksama, lalu mulailah menyebutkan bagian mana yang pantas dipuji, misalnya...gambarmu bagus Nak, warnanya serasi sekali dan kamu sudah tahu bahwa menggambar makhluk bernyawa itu tidak boleh....dan seterusnya. Ayah hanya senyum-senyum malu saja bila ibu mulai 'ceramah' seperti ini (berikut mencontohkannya).

Demikian juga halnya saat melerai kakak-adik yang berebut mainan, saat memilihkan jajanan, bacaan, pemakaian uang, dan sebagainya. Ibu, yang bahasa sederhananya 'lebih pelit' dibanding ayah tentu memiliki beberapa alasan. Ibu adalah eksekutor kebijakan-kebijakan keluarga. Sedangkan kebijakannya adalah hasil diskusi antara ayah dengan ibu, namun kadangkala, karena begitu senangnya memiliki waktu bersama anak-anak, ayah suka lupa kebijakan-kebijakan hasil kesepakatan kita, misalnya saja soal jajanan.

Lalu, bagaimana ayah menempatkan dirinya dalam Home Education? Ayah dan Ibu adalah contoh, pelajaran nyata yang lebih banyak diikuti tindakannya daripada ucapannya. Ayah mencari nafkah, sudah pasti, tetapi ayah juga perlu mengetahui perkembangan anak-anak mereka. Dalam 'laporan harian' ibu, ibu melaporkan hal apa saja yang sudah dilakukan anak-anak. Prestasi, kesalahan, penemuan, dan sebagainya pun ayah perlu tahu. Mengapa? Suatu saat anak-anak mengajak ayah mereka bercerita tentang kejadian-kejadian yang telah lalu, si ayah 'nyambung' dengan demikian anak merasa dirinya berharga.

Ayah harus selalu tampil berwibawa?boleh saja. tetapi bermain sepeda bersama, rela dinaiki pundak dan badannya, ikut sembunyi di bawah selimut, sama sekali tidak akan mengurangi kewibawaan itu. Anak-anak paling suka berkeliling naik sepeda bersama ayah, selain karena saat seperti ini terbilang langka, di kesempatan ini saya biasanya memberi ijin mereka membeli oleh-oleh di mini market/ pasar.Anak-anak juga membutuhkan kedekatan secara fisik sekaligus emosional. Maka saat ayah baru saja pulang kantor, walaupun lelah, saya mengingatkannya bahwa hari ini ada anak yang telah menuai prestasi (saya mengirim pesan singkat sebelumnya), dengan tips memuji yang telah saja 'tentir' keluarlah jurus ayah memuji anak yang berprestasi itu.

Ada saatnya ayah bisa menikmati membaca buku/koran, menyelami artikel-artikel, mengurus bisnis, dan sebagainya. tetapi sisakan juga waktu untuk sekedar mengecek kemampuan hafalan mereka, menanyakan proyek mereka, serta siap sedia mengerjakan tugas rumah tangga bersama . Anak-anak tak hanya bangga memiliki ayah yang  bermobil bagus, berkantor bagus, berparas bagus, atau suka membelikan banyak mainan. Anak-anak kami saat saya tanya, mereka senang karena ayah suka mengajak keliling naik sepeda, dan senang bermain bersama. Maka, saya pun bertekad utnuk mendidik anak laki-laki saya ( selain anak perempuan tentunya) menjadi calon ayah yang hangat dan terampil, agar anak-anaknya pun bangga.


2 komentar:

  1. Setuju skali mbak maya, sy paling protes kalo suami plg malem, krn waktu main sm anaknya jd kurang. Pdhal, kalo waktu mainnya krg, kelihatan kalo anak itu jd 'enggan' sm ayahnya. Alhamdulillah ayahnya tdk termasuk yg gengsian utk diajak 'konyol2an' brg ^^
    -airin, Kom 2002

    BalasHapus