Sabtu, 07 Januari 2012

Belajar yang Membahagiakan

Seorang teman bertanya kepada saya: "Apakah kamu pernah menjelaskan kepada anak-anakmu mengapa mereka tidak kamu masukkan ke sekolah?"Saya bingung juga menjawabnya. Anak saya justru heran mengapa teman-temannya itu mau saja disuruh sekolah?"Enakan belajar di rumah, bisa milih sendiri mau belajar apa, dimana, sambil ngapain.Kok, pada nggak belajar di rumah aja sih Bu?



Suatu hari teman saya berkunjung ke rumah, anaknya yang seusia dengan anak saya minta HS saja. Katanya, kalau di rumah terus enak sekali bisa melakukan apa pun yang diinginkan. Ibunya menjelaskan bahwa kami pun belajar seperti dia di sekolah (saya dan Jita berpandangan tak setuju). Walaupun demikian, saya menambahkan bahwa kami tidak hanya bermain-main saja di rumah, tetapi juga 'belajar' versi kami pesekolah rumah.

Bagi pesekolah rumah belajar tidak harus selalu berkaitan dengan suasana tegang, serius, formal, tunduk pada instruksi, dan sebagainya, tetapi kami menciptakan kebahagiaan dalam belajar. Belajar sama asyiknya dengan bermain, dan bermain sama seriusnya dengan belajar. Beberapa kali orang tua saya protes karena tidak melihat anak-anak 'belajar' dalam arti duduk-melipat tangan di atas meja- sambil mendengarkan instruksi dan ceramah dari saya. Tetapi orang tua saya tak bisa memungkiri bahwa anak-anak kami pun memiliki kemampuan dan pengetahuan yang tak kalah dengan anak-anak sekolahan. Jadi, masihkah perlu dipertanyakan lagi kapan kami belajar?Sekarang orang tua saya sudah meyerahkan sepenuhnya urusan HS, atau dengan kata lain, 'percaya aja deh'.

Belajar membaca haruskah dengan memulainya dari huruf, lalu mengeja? sebagian anak iya, yang lainnya menempuh cara yang berbeda. Bagaimana dengan belajar berhitung? haruskah membuka-menutup jari, menyimpan di otak, dan sebagainya? sebagian anak bisa, yang lainnya punya cara sendiri yang unik, yang sesuai minatnya. Anak saya belajar berhitung dengan cara menggambar dan bercerita. Belajar membacanya pun demikian. Belajar menulis dengan menggambar huruf. Pesekolah rumah yang lain memiliki cara mereka juga yang unik.

Saat Aisyah terpukau denga proyek pembangunan Bus Way, ia bertanya kepada saya alat-alat berat yang dijumpainya. Dia menaruh perhatian kepada hal-hal semacam itu. Ia merasa kasihan kepada para penggali yang bajunya kotor. Saya menjelaskan semampu saya. Menurut saya ini proses belajar. Ketika anak-anak saya ajak ke dokter THT, saya menjelaskan tentang bagian dalam telinga, lalu meminta sang dokter menjelaskan fungsinya masing-masing, ini juga belajar.  Saat adik paling kecil meminta dibuatkan susu, dan saya sedang di kamar mandi, kemudian sang kakak membuatkannya dengan instruksi dari saya, ini pun belajar.

Kesenangan dan kerelaan dalam belajar membuat anak semakin antusias untuk belajar, mungkin inilah salah satu kelebihan HS yang tidak ada di sekolahan. Posisi orang tua dalam HS akan berganti dari mulai 'manusia serba tahu' saat anak berusia 0-sekitar 4tahun, beralih menjadi 'manusia yang sedikit lebih tahu', lalu menjadi 'manusia yang suka sok tahu' saat anak sudah mulai menyelami minatnya dan kita orang tua jauh tertinggal, sampai akhirnya kita menjadi 'manusia yang perlu diberi tahu' oleh anak-anak. Maka terimalah saja, nikmati dan akui saja, kemudian tutupilah kekurangtahuan kita dengan terus menambah ilmu.

Bila tiba saatnya sang anak harus mulai belajar lebih serius dan terstruktur, mereka pun akan menjalani semua itu. Yang perlu ditumbuhkan adalah kesadaran untuk menuntut ilmu. Bila memang mereka akan kuliah, mereka akan kuliah karena memang membutuhkannya untuk mendapatkan ilmu, bukan mengejar ijazah, apalagi status.

1 komentar:

  1. Selalu senang membaca postingan pengalaman sesama pembelajar mandiri...
    Semoga ke depannya bisa terus saling menyemangati dan menginspirasi

    BalasHapus