Minggu, 20 Agustus 2017

Jangan Biarkan Aku Rapuh


Masih ingat saat anak sulungku dulu merengek minta sesuatu, minta dibukakan sesuatu, dibelikan sesuatu, dan segala hal yang menguji kesabarannya. Ia termasuk yang punya bakat 'tergantung' kepada orang lain. Atau bahasa mudahnya, termasuk mudah menyerah. Segala pemakluman berusaha saya keluarkan. "Gapapa masih kecil", "Namanya juga masih belajar", "Kasihan kalau ngga dibantu", sampai "Aduh kelamaan deh kalau kamu yang mengerjakan".




Kalau sedang kumat ngga telatennya, dengan segera saya bantu membukakan sesuatu, mengambilkan sesuatu, menyelesaikan tugasnya membereskan mainan yang dia tinggalkan karena keburu tergoda melihat hal lain. Pada saat itu tentu perasaan saya lega. Anak tidak merengek, saya bisa mengerjakan hal lain.

Kalau hanya membantunya membukakan kemasan atau mengambilkan minum kan tidak susah, kenapa harus dipermasalahkan? Ternyata kebiasaan ini akan berlanjut kepada masalah-masalah lain yang lebih serius seiring dengan perkembangan dirinya. Saat berselisih paham dengan anak lain, anak merengek meminta ibu turun tangan. Saat ia lupa mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan esok hari, ia memohon kepada ayah ibunya untuk tidak masuk sekolah.

Masalah pun semakin kompleks, tanpa diiringi kemampuan memecahkan masalah, anak menjadi mudah tertekan, mudah merasa tak mampu, mudah merasa terintimidasi, anak menjadi rapuh. Saat di sekolah ditegur guru, ia merasa gagal, malu dan terhina. Atau reaksi lain, ia akan lapor ke orang tua agar sang guru diberi peringatan. Bahkan tak jarang meminta pindah sekolah, padahal masalahnya bisa dibilang tidak terlalu serius.

Sekarang atau nanti, anak-anak harus mampu mengurus dirinya sendiri. Kalau mengikuti perasaan seorang ibu, tentu menginginkan si anak dapat tidur nyenyak, makan enak, teman banyak, dan kebahagiaan lain. Kalau bisa si anak mulus-mulus saja hidupnya, tanpa ada orang usil yang mengganggu, tanpa ada kekurangan dalam kebutuhannya. Oleh karena itulah, alasan 'tidak tega' dipakai. Padahal sesungguhnya kita sedang membentuknya menjadi anak yang rapuh, yang mudah putus asa.

Saat sudah berumah tangga nanti, jika ada permasalahan, ia sudah tidak bisa lagi menghindar. Saat menghadapi suami dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Saat ia harus memandikan bayi, menjawab telepon dan menahan lapar dalam satu waktu, saat ia harus memilih untuk mendahulukan cucian kotor atau mandi di saat anak tidur, dan segudang masalah lain.

Belajar menjadi tahan banting dimulai sejak anak menghadapi masalah dalam hidupnya, dan berakhir saat kehidupannya berakhir. Jadi, berilah ia kesempatan memilih bajunya, mengikat tali sepatu, mencuci piring bekas makannya, mengelap tumpahan air di lantai, walau hasilnya membuat kita harus kerja dua kali. Di masa depan, kelak ia akan menghadapi masalah yang berbeda; memilih sekolah, memilih jurusan, mengatur diri dalam hubungannya dengan teman, keluarga dan lingkungan. Sampai akhirnya ia harus memilih calon suami/isteri dan menjalani kehidupannya sendiri.

Saya menulis ini karena melihat beberapa kejadian di sekitar saya beberapa waktu belakangan. Seorang karyawan yang masih diantar-jemput bapaknya, ibu yang harus turun tangan karena kesalahan anaknya dalam pekerjaan. Atau sebaliknya, ibu yang lemah di hadapan anaknya, ayah yang tunduk kepada semua keinginan si anak, anak menjadi raja di dalam rumahnya. Untuk orang tua tipe pertama, biasa juga disebut tipe menang, orang tua dominan mengatur hampir seluruh sisi kehidupan anaknya. Mereka mengatur pakaian yang harus dikenakan si anak, ia yang menentukan (tanpa alasan syar'i) teman si anak , mereka juga yang memilihkan jurusan anak saat kuliah, bahkan tak jarang yang repot mencarikan bidang pekerjaan yang cocok.

Hasil dari didikan orang tua 'menang' adalah anak yang lemah, rapuh, minim inisiatif. Mereka saat berada dalam lingkungan yang kompleks bingung harus berbuat apa. Tipe ke dua adalah orang tua 'kalah'. Tipe orang tua ini senantiasa berusaha memenuhi semua keinginan anak. Mereka sangat khawatir si anak tidak nyaman, menderita, kesusahan, dan sebagainya. Akhirnya, setiap keinginan anak bak titah sang raja. Hasilnya, anak menjadi seenaknya, berbuat semau kehendaknya sendiri.

Ada satu tipe ideal orang tua. Yaitu yang bisa menempatkan diri antara mengikat atau melepaskan. Orang tua tau saat ia harus membantu, ia juga tau saat anak harus mengerjakannya sendiri. Anak diminta berpikir untuk mencari solusi, dan diberi kesempatan mencoba berbagai hal baru yang ingin ia coba. Ia diberi kesempatan memperbaiki kesalahan, ia diberi waktu untuk mengerjakan sesuatu sendiri, dan diberi penghargaan atas usahanya, bukan hasil.

Semoga anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang kuat. Ngga gampang baper, ngga gampang jadi fans garis keras keras, dan teguh memegang prinsip yang benar.

Disalin dari status facebook saya
7 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar