Minggu, 23 April 2017

Belajar yang Esensial



Beberapa bulan ini saya merasa proses homeschooling kami melelahkan. Saya harus mengantar si sulung ikut bimbingan belajar, try out, mencari soal-soal ujian akhir, latihan soal, dan sebagainya. Tak hanya lelah fisik, tetapi juga jadi timbul khawatir. Jadi, begini rupanya perasaan ibu-ibu yang anaknya sekolah.






Selama sekian tahun menjalankan hs, kami belajar dengan cara membaca, bercerita, mencari sumber video, melakukan percobaan, membuat kreasi, dan sebagainya. Kami tidak menempuh cara penilaian dengan angka. Evaluasi dilakukan dengan cara berdiskusi, menanyakan ulang pemahamannya, lemudian bersama-sama memperbaikinya bila salah.

Penilaian dengan angka itu melelahkan. Proses belajar menjadi kurang esensial, itu yang kami rasakan. Belajar jadi kurang menyenangkan, seolah belajar itu adalah kegiatan yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Jauh berbeda dengan yang kami jalani biasanya, hidup itu belajar dan belajar (mencari ilmu) itu bekal untuk hidup.

Mau tak mau kami harus melalui ini semua. Beberapa bulan lalu si sulung menyatakan keinginannya melanjutkan ke sekolah berasrama. Jelas saja kami terkejut, kaget. Sebelumnya kami sudah mempersiapkan diri ikut ujian Paket A. Karena keinginannya ini, dengan segera kami mencari sekolah formal yang mau menerima murid di kelas 6.

Konsekuensi dari pilihan tersebut, kami harus mengisi rapot, memenuhi KKM, mengikuti mekanisme sekolah formal, dan sebagainya. Saya lelah, karena akhirnya fokus saya beralih kepada hasil, bukan proses. Berbeda sekali dengan si sulung. Ia justru menikmati, dan selalu bersemangat saat waktunya bimbingan belajar.

Di Uji Coba (try out) pertama, nilai yang ia dapat hanya 60%. Si anak terlihat sedih, padahal saya yakin, cara penilaian seperti itu tidaklah bisa menyimpulkan keseluruhan kemampuannya. Saya pun mengambil posisi sebagai motivator. Saya katakan kepadanya, bahwa untuk sekedar memenuhi nilai, adalah hal yang mudah. Ia pun setuju usul saya untuk berlatih setiap hari. Ia sungguh-sungguh melakukannya. Dan setelah tujuh bulan, ia bisa memenuhi hampir 90%.

Belajar untk mendapatkan nilai ujian yang bagus itu tak sulit. Kalau waktu selama enam tahun di sekolah dasar hanya untuk itu, betapa ruginya. Sedangkan pembentukan adab yang benar, akidah yang lurus, pemahaman agama yang sahih, merupakan hal yang lebih utama. Anak yang kurang adabnya, akan lebih sulit diperbaiki dibanding anak yang kurang nilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar