Minggu, 12 Februari 2012

Biasa Tak Biasa

Sejak Sekolah Dasar (SD), saya sudah terbiasa memiliki pilihan yang berbeda dengan teman-teman lain seusia saya. Di saat teman-teman saya berjalan kaki berangkat ke sekolah, saya harus berangkat lebih pagi karena harus berebut angkot untuk sampai ke sekolah, apalagi jumlah angkot pada tahun itu terbilang sedikit. Tak hanya itu, di dalam angkot pun orang-orang yang melihat saya berjilbab (saat itu anak SD menggunakan jilbab adalah hal yang tak wajar) tampak begitu memperhatikan. Bahkan ada yang pernah bertanya apakah saya kepanasan menggunakan kerudung.



Tak jarang pula orang dewasa yang bertanya, bagaimana saya mau menggunakan jilbab, padahal masih kecil. Saya tak tau harus menjawab apa, karena memakai jilbab adalah peraturan seragam sekolah saya. Tak hanya masalah jilbab, baju seragam sekolah saya juga tak biasa, ijo lumut, krem, dan coklat. Saat berangkat sekolah saja, saya sudah merasa saya tak seragam dengan anak lain yang juga berangkat sekolah. Pernah suatu kali saya mengikuti lomba cerdas cermat tingkat RT, semua anak menggunakan seragam Merah-Putih, saya menggunakan seragam sekolah saya, tampak mencoloklah perbedaan saya dari anak yang lain.

Orang tua saya lebih terbiasa lagi menjadi berbeda. Di saat ibu-ibu lain sibuk mempersiapkan bekal untuk wisata ziarah ke makam-makam, ibu saya tinggal di rumah. Saat para tetangga berkumpul ramai waktu selamatan meninggalnya tetangga lain, ibu pun tak ingin ikut serta. Ibu saya terlihat lebih sering memiliki pilihan yang berbeda dari para tetangga. Ayah saya pun demikian. Ia hanya sekali bertahan lama di sebuah kantor. Setelah di PHK, ayah saya selalu berpindah tempat kerja, sampai akhirnya membuka usaha sendiri. Padahal saat itu, bekerja di kantor adalah sebuah gengsi, status sosial.

Lulus SD pun pilihan saya tak lazim. Dengan keinginan sendiri saya meminta kepada kedua orang tua untuk sekolah di sekolah khusus perempuan yang berasrama. Saat itu sekolah berasrama adalah sebuah pilihan alternatif, bahkan terakhir, bila sudah tak lagi mendapatkan sekolah yang dianggap bagus. Bahkan sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berasrama beralasan "sekalian nitip" anak. Akhirnya, malam pertama di asrama seluruh penghuni kamar saya menangis berjamaah. Ada yang terang-terangan menangis dengan suara keras, ada yang sambil mendekap bantal, ada juga yang hanya terkena pengaruh dari teman lain yang menangis. Saya heran, mengapa mereka semua menangis? lagi-lagi saya bersikap berbeda dengan yang lainnya.

Selanjutnya, saat di sekolah asrama itu pun saya tetap memilih di kamar kelas ekonomi, di saat anak lain mengantri panjang menunggu kamar "VIP" yang kosong. Teman-teman lain pun sering memberikan sinyal  memandang saya tak wajar dengan pilihan-pilihan saya, walaupun ada beberapa yang berusaha terus terang. "Ketidakwajaran" ini pun berlanjut saat memasuki SMA, dan saat memilih jurusan di universitas. Saya merasa memiliki minat dan kemampuan jurnalistik, sehingga saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi. Di saat yang bersamaan para guru meminta saya memilih jurusan Akuntansi, karena lebih menjanjikan mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Saya tetap pada pendirian saya dan menikmati kuliah di sana.

Lulus kuliah saya menikah, dan melalui suami saya inilah saya mengenal Manhaj Salafussoleh. Sebuah cara/metode baragama dengan pemahaman Rosululloh shollalohu 'alaihi wassalam, para sahabat, pengikut, serta orang-orang soleh yang mengikutinya. Saya merasa inilah yang seharusnya dimiliki seorang muslim. Setelah mengenal manhaj ini, satu per satu teman menjauh, tetapi saya pun mendapat teman baru yang memiliki cara pandang yang sama. Beberapa saudara membatasi diri, kami dianggap 'aneh'. Setelah mengenal manhaj ini pula saya mengerti beberapa pilihan hidup saya terdahulu yang salah.

Demikian pula saat kita memilih untuk menjalankan pendidikan rumah/Home Education. Saat saya mengutarakan ingin menjalankan HE, teman-teman saya hanya berkomentar: "seriusss loo?" Saat itu saya masih kuliah, saya berpikir, inilah metode belajar yang tepat. Sampai saat saya memulainya untuk anak-anak, saya masih mendengar nada miring. Saat ini saya sudah mulai memasuki tahap "enjoy", sehingga tak merasa perlu menjawab berbagai tuduhan miring seputar HS.

Sekolah/ HS adalah sebuah pilihan. Karena terbiasa memilih sesuatu yang berbeda, saya pun tak merasa pilihan ini aneh. Tetapi yang baru saya ketahui, hendaknya pilihan itu berlandaskan pemahaman yang benar tentang agama kita. Apa hubungannya? Jelas saja, akidah adalah sebuah pondasi, di atasnya lah berbagai hal berdiri, termasuk saat memutuskan akan menyekolahkan anak ke SDIT atau pondok, atau SD negeri atau HS. Kita jalani saja dengan sebaik-baiknya pilihan masing-masing, selama kita berada di atas akidah dan manhaj yang benar. Maaf bila ada yang tersinggung, dan mohon masukan dari Anda semua.



1 komentar:

  1. Luar biasa mbak, menjalani kehidupan "berbeda" sejak masih belia. Bisa bertahan menghadapi tatapan dan omongan orang lain.

    BalasHapus