Minggu, 01 Maret 2015

Anak-anak Home Schooling Mampu Bersaing, Kah?

Hari ini seorang teman masa remaja datang. Kami berbincang banyak tentang pendidikan anak-anak kami. Sampai ia bertanya, apakah anak saya, yang homeschooling (hs) bisa bersaing dengan anak-anak yang sekolah? Apakah anak saya mampu mengerjakan soal-soal seperti yang dilakukan anak-anak sekolah? Terima kasih atas pertanyaanmu, saya ucapkan, Kawan! Engkau telah mengingatkan, perasaanku dulu di masa awal menjalankan hs.


Salah satu hal yang membuat risau saya saat menjalankan hs di awal2 adalah, tentang daya saing. Bagaimana saya, sebagai fasilitator, yang tidak memiliki latar belakang ilmu pendidikan, bisa mengukur keberhasilan proses belajar anak saya? Apakah anak saya mampu memiliki pengetahuan, keterampilan, yang sejajar bahkan lebih, dibanding anak-anak seusianya? Pikiran-pikiran semacam ini justru membuat saya semakin galau menjalankan hs. Tetapi, keputusan telah dibuat, saya tak igin menyerah.

Akhirnya, saya mencoba menghalau semua pertanyaan saya tentang kompetisi, daya saing, dan sebagainya. Mencoba mengingat kembali tugas utama seorang hamba, untuk beribadah kepada-Nya. Alhamdulillaah, saya juga memiliki teman-teman yang menguatkan. Beberapa orang mengulas tentang kompetisi, daya saing dan sebagainya.


Setelah sekian lama berada dalam keadaan 'penasaran' dengan kondisi anak-anak saya, Alhamdulillaah saya kembali tenang, masalah kompetisi dan daya saing sudah tak terlalu menjadi sumber kegalauan lagi bagi saya. Beberapa teman menyarankan dan mengingatkan untuk fokus kepada dasar-dasar nilai agama. Dari pembelajaran nilai-nilai dasar itulah saya mulai melihat titik cerah arah tujuan hs kami.
Mengingat kembali pula nasihat-nasihat para ustad, bekal yang sesungguhnya adalah taqwa. Maka, tak ada pelajaran yang lebih berharga selain materi-materi yang mengantarkan saya dan anak-anak menuju ke sana. Sungguh sebuah tamparan keras untuk saya. Ujian niat dalam menjalankan hs selalu ada. Godaan paling besar ada dalam diri sendiri.

Anak yang berdaya saing tinggi, tahan uji, mampu berkompetisi, tentulah sebuah kebanggaan. Namun, seorang teman selalu mengingatkan, kebanggaan dan pujian dari siapa yang saya harapkan? Saya bersyukur telah diingatkan oleh banyak teman, saya belajar banyak dari mereka. Saya pun mulai tak mengacuhkan kriteria-kriteria tersebut. Fokus kepada pengembangan nilai-nilai agama, dan belajar sesuai kesepakatan yang kami buat.

Nampaknya saya harus menaruh perhatian lebih besar kepada perilaku sehari-hari anak-anak. Di sanalah 'ujian' yang sebenarnya. Ujian saya pula sebagai Ibu, tentang sikap buruk yang ditiru, konsistensi dalam disiplin, dan kesungguhan menjadi fasilitator mereka. Satu hal yang selama ini salah dari diri saya, masih menganggap belajar adalah persiapan untuk sebuah tes. Sepertinya saya harus berusaha keras untuk mengubah cara pandang tersebut. Bahwasannya belajar adalah persiapan untuk menghadapi kehidupan, dan mempertanggungjawabkannya di hari akhir kelak.

Insyaa allooh, dibandingkan risau dengan rapotnya yang belum jadi, kini saya lebih senang melihat anak-anak bisa mengatur kawan-kawannya. Bisa menolak saat diajak bermain di waktu magrib. Bisa berkata 'ya' atau 'tidak' dengan pertimbangan yang baik. Bisa memaknai nilai-nilai akidah, keimanan yang kami pelajari bersama.

*cerita galau masih berlanjut

2 komentar: