Rabu, 14 Januari 2015

Pelajaran dari Rantau

Juli 2013 sebuah surat membawa takdir kami untuk pindah ke Bitung, Sulawesi Utara. Saya sudah mengenal daerah ini, karena sahabat saya ketika SMP dan SMU dulu berasal dari sana. Seperti yang saya bayangkan, tempat ini sungguh menawarkan keelokan alam yang luar biasa. Diapit Gunung Dua Saudara dan Gunung Klabat, serta berpagar pantai-pantai indah, kami tinggal.




Kami memulai proses belajar kami di bawah sejuknya angin laut, sertai segarnya udara pegunungan. Proses belajar rutin berjalan seperti biasa. Pelajaran yang cukup sulit bagi kami adalah mencoba hidup sederhana di bawah keterbatasan listrik, air, serta jaringan internet. Anak-anak berusaha keras tidur nyenyak bermandingan keringat di saat musim kemarau, maklum saja, rumah dinas kami beratapkan seng, yang cukup terasa menghantar panasnya ke dalam rumah.

Di awal kepindahan kami, berbagai protes anak-anak terlontar. Berbagai keluhan mereka sampaikan, lalu mulai terbayang nikmatnya hidup di kota besar. Saya hanya bisa mendengarkan keluhan mereka, sesekali saya hibur anak-anak dengan berjalan-jalan ke minimarket yang ada. Tak jarang pula, mereka membandingkan kehidupan di Jakarta dengan di Bitung.

Tak hanya itu, karena kami tinggal di pinggir jalan raya, seringkali kami terganggu oleh suara keras dari kendaraan yang melaju kencang, apalagi bila kendaraan tersebut memutar lagu dengan pengeras suara ekstra, hmmmmm.....seperti konser berjalan. Anak-anak juga sempat kaget saat melihat kepala babi dipajang di sebuah supermarket. Lalu saya katakan, kita harus menghormati orang-orang di sini, kita ini pendatang, dan mereka memiliki keyakinan berbeda.

Setelah beberapa waktu berjalan, kami mulai bisa melihat sisi lain dari Bumi Cakalang ini. Walaupun terdiri dari berbagai agama dan keyakinan yang berbeda, masyarakat di sini bisa saling menghargai keyakinan masing-masing.  Anak-anak mendapatkan pembelajaran tentang toleransi dari kehidupan di sini. Tak ada gesekan berbau agama, justru mereka menghormati dengan membiarkan kami melaksanakan sholat 'Id, Sholat Jumat, serta ritual keagamaan lainnya.


Bitung juga memiliki pemandangan alam yang luar biasa. Pantai-pantai cantik, Gunung, bukit yang menghadap ke laut, bisa kita nikmati saat berada di atas kendaraan umum. Angkot di Bitung bisa mengantar Anda kemanapun, sehingga seringkali saya harus memutar-mutar mengantar penumpang lain. Tak apalah, selain pemandangannya bagus, angkotnya juga keren, interiornya dihiasi berbagai pernik, ada yang sepertimini bar, ada yang mirip butik, ada yang dilengkapi LCD TV, dan sebagainya.

Jangan heran ya, bila Anda naik kendaraan umum di Bitung, lalu mereka menyapa dan mengobrol dengan akrab. Mereka biasa berbincang-bincang layaknya sahabat lama, padahal baru pernah bertemu. Saat membayar angkot pun, tak segan sang sopir mengembalikan uang Anda jika ia tak memiliki uang kembali. Nah loh, kok bisa? Iya, katanya bayar saja kalau ketemu lagi, heheheh.

Walaupun sempat mengeluh dan bersedih, alhamdulillah anak-anak dan saya bisa melalui semua tantangan tersebut. Kami bersyukur bisa melewati semua ini, dan yang lebih berharga, kami mendapatkan pelajaran luar biasa sebagai pendatang di kota ini. Walau belum lama kami mengenal Bitung, sungguh membekas semua kesan tentang alam indahmu, lezatnya dabu-dabumu, pisang gorohomu,ikan bakar, serta Selat Lembehmu yang mempesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar