Sabtu, 05 Januari 2013

Otot vs Otak


Suatu hari, Harits masuk rumah dengan sangat kesal sambil berteriak:  “Curang, beraninya keroyokan”.  Dia adalah seorang anak dengan pemahaman melebihi anak-anak seusianya tentang harga diri, padahal Harits tak sekalipun pernah belajar di kelas, di ruang sekolahan. Yang dia pahami, tak ada seorang manusia pun yang berhak menghalangi orang lain untuk pergi ke masjid, menghadap robb nya. Inilah awal pergulatan Harits mengatasi bullying yang menimpanya, melawan ketidakadilan versinya, dan berpikir cerdas mencari solusi.

Sang ibu berusaha menenangkan karena mengetahui sifat keras dan mudah marah Harits. Ia memberinya masukan, nasehat, dan lainnya. Tetapi Harits sudah terlanjur merasa harga dirinya diinjak-injak. Entah apa yang dipikirnya setelah kejadian itu. Beberapa waktu setelahnya Harits mendatangi satu per satu dari 5 anak yang mengeroyoknya saat sepulang isya, ia hajar, lalu kabur. Sejenak ia merasa puas karena telah menghukum secara setimpal para pengeroyok itu, yah, paling tidak menurutnya. Ternyata itu bukan solusi. Harits tetap jadi sasaran kelima anak tadi. Ia masih tetap di ‘palak’.

Lagi-lagi, ibunya tetap tenang, menasehati, dan mengajak berpikir tentang solusi yang tepat. Bahkan Harits harus berlari cepat atau sembunyi-sembunyi saat pergi/pulang dari masjid untuk menghindari pemerasan. Sang Ibu tidak larut dalam masalah. Ia tetap menganggap masalah tersebut sebagai tantangan bersama yang harus dihadapi.

Rupanya seiring waktu berjalan, Harits dengan kemampuan berpikir analitisnya menemui celah. Ketua ‘genk’ pemeras rupanya memiliki beberapa ‘musuh’ juga. Anak-anak yang juga pernah menjadi korban pemerasan tak menyukainya. Di sisi lain, Harits semakin banyak memiliki teman. Walapupun warga baru di lingkungan itu, Harits telah menjalin pertemanan dengan beberapa anak yang usianya di atas mereka. Harits bilang: “Aku punya tim’.

Bukan, Harits tak mengajak timnya untuk berkelahi, tetapi melemparkan ‘wacana’. Ya, ini bahasa saya sebagai ‘pengamat’ masalah Harits. Laki-laki 9 tahun itu mampu bernegosiasi, menyusun strategi, dan mengorganisasikan teman-temannya, sehingga muncullah pemahaman di kalangan teman-temannya, mereka tidak menyukai tindakan pemerasan dan pengeroyokan.  Harits menyusun langkah strategis, merencanakan ‘hukuman’ psikologis untuk para bully yang semuanya merupakan anak sekolahan.

Wacana tersebut akhirnya menyebar ke seantero lapangan, tempat bertemunya berbagai macam anak. Anak yang dididik sekedarnya, yang dibiarkan, dan anak-anak dengan perhatian luar biasa dari orang tuanya.  Harits telah siap dengan peluru-pelurunya.

Suatu hari, saat ketua genk pengeroyok itu bermain petasan, Harits bersama teman-teman yang lain bersepakat (tanpa diketahui si ketua genk). Jika si ketua genk tersebut masih terus bermain petasan, ia akan ditinggalkan. Benar saja hal itu terjadi. Lain waktu, kakak dari 3 adik ini mengajak teman-temannya meninggalkan anak berbadan besar itu saat bermain petak umpet. Saat ia berjaga, teman-teman yang lain pulang. Ternyata hukuman seperti ini efektif membuat si  ketua genk jera. Harits merasa strateginya berhasil.

Harits telah mengalami masa-masa yang sulit menghadapi bullying. Mulai dari sangat marah, bahkan akibatnya, ia menjadi mudah marah ke adik-adiknya, sampai keluar ide cemerlangnya mengatasi bullying. Semua ini berjalan dalam waktu lebih dari 2 bulan.

Ini kisah anak-anak. Tetapi bagi saya maknanya dalam. Seorang  anak yang tak bersekolah,  yang tertanam identitas kuat dalam dirinya. Anak yang  dididik dalam benteng akidah, dimana pelajaran budi pekerti bukanlah tentang memilih jawaban a,b,c, atau d. Ini bukan dongeng, tetapi terjadi di masa digital ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar