Sabtu, 17 Desember 2011

Kami Senang Berteman

Setiap menjelang Hari Sabtu, Jita selalu berpikir akan berjualan apa lagi dia, donat, gorengan, ager-ager, kue coklat, es jeruk, semuanya sudah pernah ia jual. Setiap Sabtu, di saat Ibu-ibu Majelis Ta'lim AnNisaa mengikuti ta'lim, anak-anak berjualan di halaman depan. Pikiran kami di saat mencetuskan ide ini adalah agar anak-anak memiliki kegiatan sehingga tidak perlu menyusul ibunya ke tempat ta'lim.


Subhanalloh, ternyata ide agar anak-anak berjualan menunjukkan rasa setia kawan anak-anak pesekolah rumah ini. Walaupun berjualan bersama-sama, mereka tidak sedikit pun berpikir akan menjadi penjual terlaris dibandingkan yang lainnya. Tak hanya duduk bersama, mereka juga rela saling membeli barang dagangan teman yang lain. Inilah 'marketing day' pesekolah rumah Al Mumtaaz, tak ada skenario, yang ada kehidupan dan interaksi wajar sebagai anak-anak. Saya jadi ingat cerita seorang ibu yang anaknya bersekolah di SDIT. Saat 'marketing day' yang terjadi adalah sepi pembeli, karena lebih banyak murid yang berjualan, setahun kemudian ada lagi kegiatan  lain yaitu 'cooking day', anak-anak diberi tugas per kelompok lalu berkompetisi menjadi yang terlezat masakannya.

Anak-anak yang bersekolah di rumah seringkali dianggap kurang pergaulan, atau dikhawatirkan menjadi anak yang sulit bergaul dan tidak bisa berempati, bersosialisasi, terlalu egois. Saya sendiri sudah lumayan kenyang mendapatkan sindiran; nggak kasian sama anaknya, nanti nggak punya temen lho, atau yang seperti ini;kalau kurang bergaul dengan teman-teman sebayanya, apa nanti nggak kaget kalo udah besar?

Apakah anak-anak pesekolah rumah tidak realistis menghadapi kehidupan?Apakah dengan memilih untuk menjadi pesekolah rumah berarti kehidupannya serba tertutupi dinding-dinding rumahnya sehingga tak kenal dunia luar? Pesekolah rumah belajar dari apapun yang mereka lihat. Rasa ingin tahu yang terus terpenuhi mengasah daya kritis mereka dan membongkar sekat usia, strata ekonomi,golongan dan sebagainya. Suatu kali Aisyah memperhatikan para pekerja menggali tanah. Karena ingin tahu ia bertanya:"Nanti naiknya lagi bagaimana?" sepertinya Aisyah khawatir si tukang gali tidak bisa keluar dari lubang galiannya yang semakin dalam. Jita juga tak malu-malu bercerita kepada orang-orang dewasa teman-teman saya tentang kejadian-kejadian yang dia baca di internet.

Pesekolah rumah tidak melihat sosialisasi sebagai sesuatu yang perlu dibuat-buat. Bergaul merupakan kebutuhan mereka dan pergaulan baik ke sesama usia maupun kepada orang yang lebih dewasa adalah sebuah hal alamiah yang tidak memerlukan teori yang rumit. Sebagian orang mungkin menganggap sosialisasi merupakan salah satu cara mendapatkan nilai-nilai kehidupan yang baik, misalnya saja nilai bagaimana berbagi dengan orang lain, menghormati orang lain, saling membantu dan sebagainya. Nilai-nilai ini tentu akan terasah di saat seorang anak berhadapan dengan orang lain (bersosialisasi).

Pemikiran ini tak salah. Masalahnya, sosialisasi primer seseorang adalah keluarganya, terutama orang tuanya. Agen sosialisasi pertama seorang anak adalah orang tua. Maka tak heran seorang anak akan menunjukkan sikap, kebiasaan, bahkan dialek serta bahasa tubuh yang mirip orang tua mereka. Lalu masih pentingkah mengkhawatirkan sosialisasi dengan sebanyak-banyaknya anak? Bahkan bisa jadi anak mendapatkan nilai-nilai yang negatif. Suatu hari saya mendengar Aisyah berkata sesuatu yang kurang sopan. Setelah saya tanya kepada Jita, kakaknya, saya baru tahu ternyata sore sebelumnya mereka mendengarnya dari anak tetangga.

Walaupun demikian, berteman, bermain, dan bersosialisasi dengan teman sebaya tetaplah perlu, dan bisa dilakukan juga oleh pesekolah rumah. Bermain tak harus dengan sebanyak-banyaknya teman, tetapi yang penting adalah dengan sebaik-baiknya teman.




1 komentar: